Enam Puluh Menit Tanpa Gawai

Saya pikir, menunggu waktu berganti dengan menikmati es Drink Beng-Beng dan beberapa potong gorengan bisa terasa enteng. Namun, nyatanya tidak semudah itu.

Swan
3 min readMar 20, 2024
Photo by Creative Christians on Unsplash

Globalisasi membawa kita ke era yang membuat manusia begitu bertautan erat dengan telepon pintar. Informasi dan hiburan banyak beredar dalam dunia maya yang disediakan dalam telepon pintar. Membuat manusia bisa mengakses semuanya dari mana saja, kapan saja, dan dibuat adiksi dengannya.

Beberapa hari yang lalu, sebelum masuk bulan puasa, saya sebagai salah satu manusia yang tidak terbiasa melepas tangan dari telepon pintar — kecuali untuk tidur — harus bisa menahan diri untuk menghabiskan waktu tanpa alat canggih tersebut. Dalam waktu sekitar 1 jam, saya hanya bisa mengusahakan untuk menikmati waktu di warmindo atau burjo.

Saya pikir, menunggu waktu berganti dengan menikmati es Drink Beng-Beng dan beberapa potong gorengan bisa terasa enteng. Namun, nyatanya tidak semudah itu. Minuman yang saya pesan ternyata begitu cepat habis dalam waktu yang cukup singkat. Mungkin karena saya kebingungan harus melakukan apa, sampai-sampai alam bawah sadar terus mendorong saya untuk menegak sesuatu.

Gorengan? Lebih cepat tuntas malahan. Agak menjemukkan membiarkan gorengan tidak lekas dilahap. Membuat pikiran tidak tenang.

Lalu dengan waktu yang masih melimpah untuk dilewati, saya hanya bisa terpikirkan satu ide: mengamati sekitar. Ternyata memang cara ini begitu ampuh untuk menghabiskan waktu. Ada beberapa hal yang saya perhatikan di sekitar saya pada waktu itu.

Pertama, saya melihat begitu meriahnya minuman-minuman saset yang digantung di tembok. Ada minuman sari buah, kopi, susu, teh, dan jahe dari berbagai macam merek. Mereka memenuhi tembok burjo untuk menyediakan semua kebutuhan dahaga orang-orang yang datang ke sini.

Dari semua minuman saset, Nutrisari menjadi mayoritas yang menghuni blok tersebut. Berbagai macam rasa disediakan, membuat bingung pembeli yang belum mempersiapkan keinginannya dari beberapa langkah sebelum disambut Aa Burjo sebagai pramuniaga. Saya sendiri punya rasa andalan kalau ingin minum Nutrisari, yakni rasa anggur. Jadi tidak perlu terjebak dalam kebingungan terlalu lama dan membuat Aa Burjo menunggu.

Kedua, saya mencoba menengok kegiatan orang-orang yang ada di burjo. Mulai dari orang yang lahap makan di meja seberang saya. Sepertinya dia mempersiapkan energi untuk sebelum berangkat kerja. Atau mungkin malah baru selesai shift malam dan ingin makan dahulu sebelum pulang. Entahlah.

Di meja lain ada seseorang yang hanya memesan segelas kopi. Pasti yang satu ini tidak terbiasa dengan sarapan. Atau memang butuh tendangan kafein sebelum melakukan kegiatan selanjutnya.

Di balik etalase lauk-pauk yang memanjang, Aa Burjo sedang santai karena belum ada pembeli lain yang datang. Dirinya larut dalam telepon pintar dan tampak begitu terhibur dengannya. Begitu membuat iri.

Ketiga, saya mencoba mengistirahatkan mata. Dengan memasang telinga di fungsinya yang paling optimal, saya berharap dapat mendengarkan sesuatu yang menarik untuk menghabiskan waktu. Ternyata nasib mempertemukan saya dengan seseorang yang menyetel lagu Beyoncé.

Saya memang tidak terlalu mengikuti penyanyi asal Amerika Serikat itu, tetapi lagu-lagunya begitu menempel di kepala karena pasangan saya yang suka mendengarkan dan menyanyikan lagu Beyoncé. Setelah beberapa lagu terlewati dengan sikap takzim, saya coba mencari sumber suara dari lagu-lagu yang berkumandang sejak tadi.

Setelah memperhatikan sekitar, termasuk bangunan di dekat burjo, saya berkesimpulan lagu yang disetel berasal dari sebuah layanan binatu di seberang burjo. Suaranya diperkirakan terdengar dari jarak yang tepat dan gerak-gerik penjaga toko yang terlihat seperti menikmati alunan musik. Benar atau tidaknya saya tidak tahu, tapi itulah tebakannya.

Ada hal terakhir yang saya perhatikan sebelum mengakhiri masa tunggu saya di burjo hari itu. Saat akan membayar total jajan yang sudah dikonsumsi, jalanan di depan burjo mendadak begitu ramai dan macet. Agak jarang melihat jalan tersebut macet, apalagi ini sudah bukan lagi jam berangkat kantor atau sekolah.

Ternyata penyebab kemacetan yang terjadi adalah kirab budaya dari SMA yang ada di dekat sini. Anak sekolah dan guru menggunakan kostum adat dan berbagai macam arakan untuk meramaikan acara itu. Mereka berjalan kaki entah dengan rute bagaimana, mungkin memutar hingga nanti kembali ke sekolah.

Saya sendiri tidak mau terkesima terlalu lama dengan kirab yang lewat. Langsung saja bergegas menuju motor agar tidak terjebak di jalan yang tampak akan semakin ramai itu. Meninggalkan burjo, meninggalkan waktu yang dihabiskan tanpa gawai.

--

--

Swan

Kadang menulis, kadang mengetik, dan kadang mengambil gambar tak bermakna.